Hammer dan Hogan dalam bukunya how to manage conflic, mengatakan
pengertian konflik sebagai segala bentuk pertikaian yang terjadi dalam
organisasi, baik antara individu dan individu, antara individu dengan
kelompok maupun antara kelompok dengan kelompok yang bersifat
antagonistis. Konflik selalu melibatkan dua orang atau lebih (perorangan
atau kelompok) yang terjadi apabila salah satu fihak merasa
kepentingannya dihalang-halangi atau akan dihalang-halangi. Hal yang
mendorong munculnya konflik tentu saja karena ada kepentingan yang ingin
di capai namun dirasa ada sesuatu (hambatan, rintangan atau lawan) yang
berpotensi menghalangi tujuan. Biasanya konflik timbul karena orang
lain atau sesuatu dipandang berpotensi ditakuti dapat mengganggu
berbagai proses dalam upaya memperoleh cita-cita, menjadi kepala daerah
misalnya. Namun biasanya konflik muncul begitu saja tidak direncanakan
sebelumnya. Tetapi paradigma baru, dewasa ini, orang pintar menggunakan
konflik sebagai senjata ampuh membentuk opini dan menghancurkan karakter
seseorang ataupun kelompok.
Karakter yang dimaksud adalah jiwa,
sosok, maupun kredibilitas yang melekat pada diri seseorang atau
kelompok dan tentunya seseorang atau kelompok itu memiliki kekuatan atau
power. Ketakutan inilah yang mendorong penciptaan konflik
ditengah-tengah masyarakat melalui berbagai cara dan media massa adalah
tempat yang tepat mengumandang-kannya. Orang pintar mengatakan,
komunikasi adalah proses penyampaian informasi atau pesan-pesan
(message) dari satu fihak kepada fihak lain melalui media tertentu.
Sebagai media massa apakah koran, majalah, radio maupun televisi
merujuk etika jurnalistik sebenarnya sah-sah saja jika media massa
dipergunakan untuk mengekspose kejelekan, keburukan atau kelemahan
seseorang apalagi pada proses pemilihan kepala daerah. Di banyak kasus,
menjelang pemilihan umum khususnya pemilihan kepala daerah, orang
awampun sudah dapat menilai sebuah surat kabar atau media elektronika
berdiri membela siapa. Melalui pemberitaan sepanjang detik, menit, jam,
harian, mingguan maupun bulanan terlihat jelas pembelaan mela-lui foto
dan berbagai sepak terjang seseorang mempromosikan bahwa dirinya adalah
sosok yang tepat dipilih menjadi pemimpin.
Ada-ada saja berita
yang dikemas sebagai alasan untuk tampil, dari berita peresmian serikat
tolong menolong (STM) sampai kepintarannya sewaktu di Taman Kanak Kanak
pun dirasa perlu dimuat. Upaya tersebut sebenarnya adalah jalan baik
untuk lebih memperkenalkan diri (karena sebelumnya tidak dikenal) kepada
orang lain dan sebagai upaya memudarkan pikiran simpati orang kepada
lawan politiknya. Tetapi ada juga penguasaan media massa yang khusus
menjelek-jelekan, bahkan menghancurkan masa depan orang lain. Lihat saja
seorang anggota senat (menteri) di Amerika yang mengundurkan diri
karena ditekan lawan politiknya melalui pemberitaan affair dirinya
dengan seorang wanita, kasus yang sama juga terjadi pada oknum kepala
daerah dan anggota DPR/DPRD di Indonesia.
Pada sisi penguasaan
media massa ini, kedewasaan masyarakat benar-benar teruji untuk melihat
siapa sebenarnya yang baik dan buruk, yang pintar dan bodoh dan yang
pantas atau tidak pantas. Kaum politisi maju era kini tidak lagi terlalu
repot mempergunakan media massa untuk memperoleh dukungan masyarakat,
ada cara yang dipandang lebih strategis seperti melalui pendekatan dari
hati ke hati dan pendekatan kebutuhan. Lagi pula insan pers jaman
sekarang sudah terlalu pintar untuk dapat dipermainkan dan diperalat
sesuai nilai kontrak. Jujur sajalah, aji umpung sebenarnya telah banyak
menipu calon kepala daerah yang miskin atau yang kaya.
Sebagai
contoh pembelajaran, di sebuah media massa sosok seseorang acap kali
tampil seolah-olah dirinya matahari yang harus terbit menyinari bumi
setiap hari, namun ia lupa, tidak semua orang yang menginginkan sinar
matahari tersebut terik bersinar sepanjang hari. Tidak percaya, tanyakan
saja kepada anak sekolah yang berjalan kaki sepanjang hari, petani yang
baru menanam tanamannya, termasuk wanita-wanita cantik yang berkulit
halus. Maksudnya, ada saatnya matahari dibutuhkan sinarnya terik namun
dibutuhkan juga matahari yang redup seperti mendung serta kadang
matahari harus mengalah dan memberikan kesempatan kepada hujan untuk
tampil kedepan. Persoalannya terletak pada kepintaran mengatur waktu
agar penampilannya tidak menjengkelkan orang lain bahkan membuat marah,
tetapi membuat orang merasa tersanjung, simpati dan yakin akan diri
kita.
Bila seorang bakal calon kepala daerah (balon) melakukan
pendekatan dari hati ke hati serta pendekatan kebutuhan (lebih ekstrim),
dukungan tidak akan lari kemana-mana. Walaupun media massa menyanjung
kita sampai ke ujung langit, apakah isteri, anak atau saudara lawan
politik akan berpaling kepada kita? Jawabnya, mustahil … tetapi apakah
peluang itu ada? jawabnya ada. Kuncinya, bagaimana kita mampu
meru-muskan pola penghancuran karakter yang sebenarnya terhadap lawan
politik tidak sekedar pembusukan karakter di media massa yang tidak
semua orang membacanya. Kalaupun nantinya busuk masih bisa di obati,
kalau sudah hancur, bagaimana . Sesungguhnya sudah banyak dipraktekkan
dalam dunia perpolitikan modern dewasa ini, namun tidak semua orang
mendalaminya dengan seksama.
Jika di kaji-kaji, ide ini sudah
kuno walaupun demikian, masih saja banyak orang yang terperosok maupun
dijerumuskan sengaja ke persoalan-persolan harta, tahta atau kekuasaan,
dan lawan jenis (pria atau wanita). Kita harus ingat tidak semuanya yang
kuning itu emas, namun ada juga warna kuning itu kotoran manusia
demikian juga tidak semua kawan itu kawan dan tidak semua lawan itu
lawan. Pembusukan karakter bagi balon kepala daerah adalah pekerjaan
lamban dan cenderung sia-sia, mengapa takut mencoba pembunuhan karakter?
Tulisan ini adalah sedikit pemikiran yang ingin membuka penjajahan
prilaku yang dilakukan berbagai politikus yang sering kali mengorbankan
orang baik yang bertujuan baik membangun masyarakat. Jika sudah begini,
persiapkanlah diri menghadapi penghancuran karakter, siapa takut
silahkan menjadi penonton di pinggir lapangan.
(Penulis Sekretaris IKADI-PP Dairi/Pakpak Bhara.)