![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhErWCoJlq8iCxTQIwD8G-bvYaSVwcW1yXnqmrNgNC8113_jWZ3lB7y4hH0nOQDXJh7ynrDOQIScog3hTMbQCScOGtUExo9KExnWzw6MqnLEF47YpqkeqyeBbzdR_50-DbO1KxR67uYelY_/s200/pencitraan.jpg)
Saat ini rakyat semakin kritis dan sebagian besar tak lagi
tertarik pada politik uang, meskipun tak dapat dipungkiri bahwa masih ada
sebagian partai politik yang menggunakan politik uang sebagai strategi
pemenangannya.
Menurut survey yang dilakukan oleh Pew Research Center for
the People and the Press terhadap sekitar 200 konsultan politik di seluruh
dunia pada tahun 1997 – 1998, ditemukan fakta bahwa kualitas dari pesan-pesan
kampanye politik sebuah partai politik dan strategi pencitraan para pemimpin
partai politik merupakan faktor utama dalam menentukan kemenangan dalam
pemilihan umum, sehingga selain faktor biaya yang mutlak dipersiapkan untuk
menggerakkan mesin politik, pencitraan partai politik dan pemimpin partai
politik merupakan kunci penentu kemenangan.
Melalui pendekatan program kerja sebuah partai politik
kepada pemilihnya hanya akan dimengerti oleh publik yang “melek” politik. Bagi
publik yang “buta” politik, mereka akan lebih suka melihat citra para pemimpin
partai politik.
Pengertian citra berkaitan erat dengan suatu penilaian,
tanggapan, opini, kepercayaan publik, asosiasi, lembaga dan juga simbol simbol
tertentu terhadap bentuk pelayanan, nama perusahaan dan merek suatu produk
barang atau jasa yang diberikan oleh publik sebagai khalayak sasaran
(audience).
Dengan demikian, tanggapan dan penilaian publik merupakan
unsur penting dalam melakukan penelitian tentang Citra. Citra (image) adalah
seperangkat keyakinan, ide dan kesan seseorang terhadap suatu obyek tertentu.
Sikap dan tindakan seseorang terhadap obyek tersebut akan ditentukan oleh citra
obyek yang menampilkan kondisi yang paling baik.
Memasarkan partai politik tak ubahnya seperti memasarkan
sebuah produk barang atau jasa kepada target pasarnya. Pada dasarnya,
jika diibaratkan berdagang, target pasar untuk partai politik adalah para
pemilih (voters), jika kita melakukan segmentasi pemilih yang menjadi target
pasar partai politik, maka akan terdapat 4 jenis pemilih potensial yang ada di
Indonesia.
Pertama adalah pemilih ideologis (ideologist voters), yang kedua
adalah pemilih tradisional (traditional voters), yang ketiga adalah pemilih
rasional (rational voters) yang terbagi dalam pemilih intelektual dan non
partisan, sedangkan yang keempat adalah pemilih yang masih berubah-ubah (swing
voters). Ideologist Voters dan Traditional Voters menguasai sekitar 40%
darimarket share, sedangkan Rational Voters dan Swing Voters menguasai sekitar
60% dari market share (Priosoedarsono, 2005).
Jika kita berbicara mengenai strategi pencitraan, tak dapat
dilepaskan dari peran media massa dalam kapasitasnya sebagai media (wadah)
untuk memberitakan kepada publik serta memberi citra dari aktivitas para aktor
politik yang diberitakan dan menjadi konsumsi media massa.
Disini peranan “Framing” maupun “Agenda Setting” menjadi
penting, karena agenda media (dalam hal ini media memilih berita-berita yang
akan menjadi headline dalam pemberitaannya) merupakan agenda publik, artinya
adalah publik disodorkan headline berita yang memang telah diagendakan oleh
media untuk menjadi berita utama (headline).