Rabu, 04 November 2015

MEMENANGKAN HATI RAKYAT MELALUI STRATEGI PENCITRAAN



Dunia politik tak ubahnya seperti arena bertarung yang sangat membutuhkan strategi jitu dalam pemenangannya.  Tidak hanya sekedar politik uang yang mampu berperan sebagai second God dalam memenangkan hati rakyat.


Saat ini rakyat semakin kritis dan sebagian besar tak lagi tertarik pada politik uang, meskipun tak dapat dipungkiri bahwa masih ada sebagian partai politik yang menggunakan politik uang sebagai strategi pemenangannya.
Menurut survey yang dilakukan oleh Pew Research Center for the People and the Press terhadap sekitar 200 konsultan politik di seluruh dunia pada tahun 1997 – 1998, ditemukan fakta bahwa kualitas dari pesan-pesan kampanye politik sebuah partai politik dan strategi pencitraan para pemimpin partai politik merupakan faktor utama dalam menentukan kemenangan dalam pemilihan umum, sehingga selain faktor biaya yang mutlak dipersiapkan untuk menggerakkan mesin politik, pencitraan partai politik dan pemimpin partai politik merupakan kunci penentu kemenangan.
Melalui pendekatan program kerja sebuah partai politik kepada pemilihnya hanya akan dimengerti oleh publik yang “melek” politik. Bagi publik yang “buta” politik, mereka akan lebih suka melihat citra para pemimpin partai politik.
Pengertian citra berkaitan erat dengan suatu penilaian, tanggapan, opini, kepercayaan publik, asosiasi, lembaga dan juga simbol simbol tertentu terhadap bentuk pelayanan, nama perusahaan dan merek suatu produk barang atau jasa  yang diberikan oleh publik sebagai khalayak sasaran (audience).
Dengan demikian, tanggapan dan penilaian publik merupakan unsur penting dalam melakukan penelitian tentang Citra. Citra (image) adalah seperangkat keyakinan, ide dan kesan seseorang terhadap suatu obyek tertentu. Sikap dan tindakan seseorang terhadap obyek tersebut akan ditentukan oleh citra obyek yang menampilkan kondisi yang paling baik.
Memasarkan partai politik tak ubahnya seperti memasarkan sebuah produk barang atau jasa kepada target pasarnya.  Pada dasarnya, jika diibaratkan berdagang, target pasar untuk partai politik adalah para pemilih (voters), jika kita melakukan segmentasi pemilih yang menjadi target pasar partai politik, maka akan terdapat 4 jenis pemilih potensial yang ada di Indonesia.
Pertama adalah pemilih ideologis (ideologist voters), yang kedua adalah pemilih tradisional (traditional voters), yang ketiga adalah pemilih rasional (rational voters) yang terbagi dalam pemilih intelektual dan non partisan, sedangkan yang keempat adalah pemilih yang masih berubah-ubah (swing voters).  Ideologist Voters dan Traditional Voters menguasai sekitar 40% darimarket share, sedangkan Rational Voters dan Swing Voters menguasai sekitar 60% dari market share (Priosoedarsono, 2005).
Jika kita berbicara mengenai strategi pencitraan, tak dapat dilepaskan dari peran media massa dalam kapasitasnya sebagai media (wadah) untuk memberitakan kepada publik serta memberi citra dari aktivitas para aktor politik yang diberitakan dan menjadi konsumsi media massa.
Disini peranan “Framing” maupun “Agenda Setting” menjadi penting, karena agenda media (dalam hal ini media memilih berita-berita yang akan menjadi headline dalam pemberitaannya) merupakan agenda publik, artinya adalah publik disodorkan headline berita yang memang telah diagendakan oleh media untuk menjadi berita utama (headline).


MENGAPA INCUMBENT (PETAHANA) BANYAK MENANG PILKADA

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEig189faDLLuZoIeq5gGRUhFl7IYKZQtR-U82I-EKndhcvhDqGWQXKdSQ-79DavDuwpvw4viYmNOBC0lEwfJPiHFWcF9MPUwLwhOb_7q2AVP3Sy5Cah_oUXgvxLjbZv3PGq3yXyjLDgMHY/s200/pilkada.jpeg
Sejak pertama Pilkada digulirkan pada tahun 2005, hingga kini sudah ribuan Pilkada telah dilaksanakan di Indonesia. Dari data yang ada, Pilkada banyak dimenangkan oleh pihak incumbent. Bila dipersentasekan kira-kira mencapai 85% Pilkada dimenangkan oleh incumbent.
Pertanyaannya, mengapa Pilkada banyak dimenangkan oleh incumbent?.Ada beberapa faktor mengapa incumbent lebih mudah untuk memenangkan Pilkada di Indonesia.
Pertama, incumbent mengusai akses ekonomi. Dengan kedudukanya sebagai bupati atau walikota atau gubernur yang sedang menjabat, seorang kandidat menjadi punya kesempatan yang lebih besar untuk mengusai akses ekonomi dibanding kadidat lain. Kemudahan akses ekonomi ini tentunya memudahkan seorang kandidat untuk mendapatkan dana untuk pembiayaan kampanyenya. Sering kali, incumbent justru yang kewalahan dengan para pihak yang datang menawarkan dana pilkada. Dengan dana yang melimpah ini, pihak incumbent bisa melakukan banyak hal. Dalam Pilkada, dana memang bukan segalanya tetapi sangat penting keberadaanya.
Kedua, incumbent mengusai akses sosial. Penguasaan terhadap akses sosial ini sangat penting karena akan mendongkrak tingkat popularitas dan elektabilitas kandidat. Sejak hari pertama incumbent dilantik, ia akan memiliki akses untuk bertemu dan berkunjung ke masyarakat. Tentunya dengan menggunakan fasilitasnya sebagai incumbent. Incumbent bisa menghadiri acara atau menciptakan acara untuk bisa selalu bertemu dengan warga. Sudah menjadi rahasis umum bahwa incumbent selalu menggunakan dana BANTUAN SOSIAL untuk memupuk modal sosial ini.
Ketiga, incumbent mengusai akses politik. Bila seseorang sudah menjabat sebagai bupati, walikota atau gubernur, rasanya tidak akan susah untuk menguasi kursi pimpinan partai politik. Bahkan partai politik justru berebut untuk menempatkan incumbent sebagai ketua partai. Demikian juga pada saat pencalonan Pilkada, incumbent tidak akan repot mencari partai. Justru partai politik yang datang berbondong-bondong untuk menjadi meniadi partai pengusung. Dengan kemudahan akses politik ini, incumbent tentunya bisa memilih mesin partai politik mana yang memiliki dukungan luas di daerahnya.
Dengan segala kemudahan yang dimiliki incumbent tersebut, maka tidak heran bila sangat sedikit incumbent yang kalah dalam Pilkada. Hanya incumbent yang "keterlaluan" yang kalah dalam Pilkada.

Nama         : Ali Wardana Panggabean

Jabatan      : Direktur Ali Wardana Panggabean Center