Minggu, 08 Mei 2016

PILIH MANA? POWER TENDS TO CORRUPT ATAU THE RIGHT MAN ON THE RIGHT PLACE



Kekuasaan jelas menggoda. Dalam konteks politik, Niccolo Machiavelli memandang kekuasaan cenderung dilanggengkan oleh setiap penguasa lewat berbagai cara. Cara apapun tidak menjadi persoalan, yang penting kekuasaan itu dapat dipertahankan. Dari pandangan Machiavelli ini tersirat diterimanya cara-cara kekerasan dan represi (coercion, violence) yang tidak etis dalam mempertahankan kekuasaan. John Locke di Inggris, Montesqiueu di Prancis, dan Thomas Jefferson di Amerika Serikat juga beranggapan bahwa penguasa cenderung memiliki ambisi untuk berkuasa terus-menerus. Karenanya, kepentingan penguasa sering bertolak belakang dengan kepentingan rakyat banyak.
Dalam banyak sistem sosial dan politik kekuasaan memang dicoba-batasi agar tidak menjadi absolut atau totaliter, termasuk dalam pandangan Machiavelli yang menghendaki Italia menjadi negara republik. Ada banyak cara diusulkan untuk membatasi kekuasaan. Para filosof, ahli hikmah dan etika mengajarkan agar kekuasaan dipegang oleh figur filosof dan tokoh bermoral (ulama, cendekiawan). Kekuasaan berada di bawah hukum, bukan lagi “Aku [baca: raja] adalah hukum”. Dari sisi struktur dan sistem, pemikir-pemikir politik lalu menganjurkan agar kekuasaan dibagi (separation of power) antara lembaga-lembaga negara; otoritas dibelah (distribution of power), seperti pada ajaran trias politica.
Dalam sistem politik totaliter, kekuasaan menjadi absolut, terpusat pada segelintir elite (oligarkhi) yang berlaku zalim, dan tidak mengenal partisipasi publik dalam kehidupan politik, baik yang konvensional (seperti: memberikan suara dalam pemilu, diskusi politik, membentuk dan bergabung dalam suatu kelompok kepentingan) maupun yang non-konvensional (seperti unjuk rasa). Padahal partisipasi ini mengingatkan pada pentingnya jaminan akan pelaksanaan kebebasan-kebebasan asasi (civil rights), seperti kebebasan menyatakan pendapat, berkumpul dan penghormatan terhadap hak asasi warga negara. Civil rights adalah salah satu dari dua kaki demokrasi, sedang kaki yang satunya lagi adalah parlementarisme, yang terkait dengan keharusan adanya parlemen, partai politik, dan pemilihan umum.
Demokrasi, menurut Bertrand Russel, mengandung kelemahan, terutama menyangkut dua hal: keputusan yang harus cepat diambil dan menyangkut kemampuan atau pengetahuan seorang pengambil kebijakan. Pada tingkat ini biasanya terjadi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power), dimana kewenangan yang dimiliki pejabat publik bukan digunakan untuk kemaslahatan publik, tetapi untuk kepentingan pribadi sang pejabat. Mengingat besarnya kekuatan godaan dan tarikan kekuasaan terhadap para penguasa, Lord Acton membuat suatu tesis aksiomatik yang sangat terkenal: “Power tends to corrupt. Absolute power corrupts absolutely.”
Sayangnya, menurut saya, sebagai sistem, demokrasi kekurangan alat (tool) untuk mengontrol penyalahgunaan kekuasaan, selain dengan jaminan partisipasi publik dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan, yang antara lain dicerminkan dengan pengawasan masyarakat dan parlemen atas kinerja pemerintah, serta penggunaan hukum sebagai sistem pemberi sanksi atas ilegalitas kekuasaan. Karena itu, moralitas dan akhlak agama mempunyai peran signifikan, sebagaimana dilihat para filosof da ahli hikmah di atas.