Sabtu, 31 Januari 2015

KKP KONSISTEN PERANGI ILLEGAL FISHING

REFLEKSI 2014 DAN OUTLOOK 2015 :
KKP KONSISTEN PERANGI ILLEGAL FISHING

Kebijakan strategis Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dalam memberantas illegal fishing telah menunjukkan hasil yang positif. Hal ini dirasakan oleh sebagian besar masyarakat terutama nelayan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Kini hasil tangkapan nelayan di beberapa daerah jumlahnya semakin meningkat, sehingga ke depan diharapkan dapat berdampak pada peningkatan pendapatan dan kesejahteraan nelayan. Dengan hasil yang cukup menggembirakan tersebut, KKP akan terus konsisten memberantas illegal fishing. “Hal itu sebagai upaya pemerintah dalam mewujudkan Negara kepulauan yang berdaulat dan mandiri melalui pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan yang berkelanjutan”, kata Menteri Kelautan dan Perikananan Susi Pudjiastuti pada acara Refleksi 2014 dan Outlook 2015 Pembangunan Kelautan dan Perikanan di Jakarta, Senin (5/1).
Kebijakan strategis itu berupa penerbitan peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan terkait Penghentian Sementera (Moratorium) Perizinan Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) Negara Republik Indonesia (PERMENKP No. 56/PERMEN-KP/2014). Peraturan lainnya yakni terkait Larangan Transshipment (PERMENKP No. 57/PERMEN-KP/2014) serta Peningkatan Disiplin Pegawai Aparatur Sipil Negara di lingkungan KKP terkait pelaksanaan kebijakan moratorium, larangan transshipment dan penggunaan nakhoda dan anak buah kapal (ABK) asing (PERMENKP No. 58/PERMEN-KP/2014). Selain telah menerbitkan peraturan, kebijakan strategis lainnya yakni mendorong transparasi data dan informasi, membuat satuan tugas (satgas) dan tim pokja, meningkatkan kerjasama lintas instansi penegak hukum, serta penguatan dan pengembangan peradilan perikanan.
Dalam pelaksanaan transparasi data dan informasi, KKP telah mempublikasikan data kapal dan transparasi proses perizinan kapal ikan (SIPI dan SIKPI) melalui website (www.kkp.go.id). Kemudian, publikasi hasil pemantauan kapal perikanan dengan data satelit, sehingga dapat diakses oleh aparat penegak hukum di laut dan pemilik kapal bersangkutan. “Hingga pelaksanaan transparasi penanganan kapal pelaku tindak pidana perikanan yang ditangkap oleh aparat pengawasan KKP, baik melalui konferensi pers maupun penyebaran siaran pers”, ungkap Susi.
Sedangkan dalam pembentukan satgas illegal fishing, KKP telah bersinergi dengan beberapa instansi terkait yakni TNI AL, Bareskrim Polri, PPATK, Ditjen Bea Cukai dan Ditjen Pajak (Kementerian Keuangan), Ditjen Perhubungan Laut (Kementerian Perhubungan) serta KKP. Adapun tim pokja yang dibentuk adalah terkait Pembangunan Arsitektur Integrasi Data KKP dan Verifikasi Kemitraan Unit Pengolahan Ikan (UPI) dan Kapal Perikanan. Selanjutnya dalam meningkatkan kerjasama lintas instansi penegak hukum, KKP telah menandatangani nota kesepahaman dengan TNI AL tentang Peningkatan Pengawasan dan Penegakan Hukum di Bidang Kelautan dan Perikanan. “Penguatan dan pengembanganan Pengadilan Perikanan dilakukan bersama Mahkamah Agung dengan membentuk tiga pengadilan perikanan, yakni di Ambon, Sorong dan Merauke. Hal itu dilakukan untuk mempercepat penyelesaian hukum atas kasus-kasus tindak pidana perikanan”, kata Susi.
Disamping itu, KKP saat ini tengah melakukan beberapa upaya strategis dalam rangka pemberantasan Illegal Unreported and Unregulated (IUU) Fishing. Upaya tersebut antara lain mengusulkan kepada Presiden Republik Indonesia untuk menerbitkan Instruksi Presiden (INPRES) mengenai percepatan pemberantasan IUU Fishing. Kedua, penertiban proses perizinan dan peningkatan pengendalian penangkapan ikan, pengangkutan ikan hasil tangkapan, pengangkutan ikan hidup hasil budidaya, pengolahan pasca panen, dan distribusi hasil perikanan. Ketiga, penguatan kapasitas pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan dengan meningkatkan jumlah hari operasional kapal pengawas, mengembangan airborne surveillance, dan penambahan jumlah kapal pengawasan. “Termasuk penyusunan standar operasional prosedur (SOP) tentang percepatan proses penegakan hukum dan hubungan tata cara kerja permintaan bantuan penegakan hukum di laut antar instansi penegak hukum yakni KKP, POLRI, TNI AL dan BAKAMLA”, jelas Susi.
Meskipun belum genap 100 hari, seluruh kebijakan serta upaya strategis yang dilakukan telah memberikan dampak positif bagi kemandiriandankedaulatanbangsa. Seperti ditunjukan dengan penurunan jumlah kapal ikan Indonesia (KII) impor dan kapal ikan sing (KIA) yang beroperasi di WPP NRI berdasarkan hasil pemantauan Vessel Monitoring System (VMS), INDESO dan AIS. Selanjutnya juga ditunjukkan dengan peningkatan hasil operasi pengawasan IUU Fishing, dimana KKP telah menangkap enam kapal dari total 39 kapal perikanan selama periode 2014. Termasuk, penenggelaman tiga kapal asing pelaku illegal fishing hingga penyelesaian masalah manusia perahu dari Filipina dan Malaysia. “Beberapa negara juga telah memberikan respon positif, untuk bekerja sama dengan pemerintah dalam menanggulangi praktek illegal fishing di wilayah perairan Indonesia”, kata Susi.
Selain negara lain, respon yang baik pun datang dari negeri sendiri. Upaya tegas pemerintah dalam memerangi illegal fishingtelah memotivasi nelayan tradisional di lokal. Dimana pada tanggal 29 Desember 2014 yang lalu, Kelompok NelayanJaring Puput di Tanjung Balai, Kabupaten Asahan telah berhasil menangkap kapal asing berbendera Malaysia. Kapal itu ditangkap karena mencuri ikan di perairan Selat Malaka dengan menggunakan alat tangkap trawl dan diawaki 5 orang asal Myanmar. “Atas aksi heroik dan keberanian dari para nelayan ini, pemerintah menyampaikan apresiasi dan penghargaan. Mari masyarakat bersama pemerintah, kita terus perangi illegal fishing menuju Indonesia yang jauh lebih baik”, ajak Susi.
Selain fokus pada pemberantasan illegal fishing, pemerintah juga akan melaksanakan berbagai program dan kebijakan strategis lainnya. Program dan kebijakan pembangunan kelautan dan perikanan tersebut bertujuan untuk mengejar peningkatan daya saing, meningkatkan kualitas manusia, termasuk melalui pembangunan mental. Selain itu,  memanfaatkan dan mengembalikan potensi yang hilang di sektor maritime dan kelautan, meningkatkan pertumbuhan ekonomi dengan basis yang kuat dan berkualitas, mengurangi ketimpangan antar wilayah, memulihkan kerusakan lingkungan dan memajukan kehidupan masyarakat, khususnya nelayan.

KKP-PPATK Siap Berantas Tindak Pidana KP
Pada kesempatan tersebut juga dilaksanakan penandatanganan kesepakatan bersama antara KKP dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Hal itu sebagai wujud komitmen KKP dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana di bidang kelautan dan perikanan.Selain itu, juga diatur beberapa upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidanapencucian uang oleh kedua pihak. “Tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan koordinasi diantara KKP dan PPATK, teutama dalam hal tindak pidana kelautan dan perikanan”, tegas Susi.
Secara umum ruang lingkup dalam kesepakatan yang diatur mencakup tiga hal, yakni pertukaran informasi, asistensi dan/atau pendampingan, serta pengembangan sumber daya manusia. Realisainya, kedua belah pihak akan melakukan pertukaran informasi perihal tugas, fungsi dan kewenangan masing-masing. Permintaan informasi akan disertai penjelasan mengenai maksud dan tujuan penggunaan informasi  tersebut. Dalam hal diperlukan adanya permintaan konfirmasi atau penjelasan lebih lanjut, dilakukan melalui pejabat penghubung yang telah ditunjuk. Adapun pejabat penghubung dimaksud yakni Kepala Pusat Analisis Kerjasama dan Antar Lembaga, KKP dan Direktur Kerjasama dan Hubungan Masyarakat, PPATK.
Selanjutnya, informasi yang diberikan dapat berasal dari inisiatif KKP atau atas dasar permintaan tertulis dari PPATK. Informasi tersebut meliputi  dugaan tindak pidana perikanan yang dilakukan oleh perorangan dan/atau korporasi. Kedua, informasi mengenai pengawasan penyalahgunaan wewenang dan/atau penyimpangan terhadap peraturan perundang-undangan yang berindikasi tindak pidana pencucian uang dan/atau tindak pidana lainnya. Ketiga, informasi yang dibutuhkan PPATK dalam rangka pemenuhan informasi dari Financial Inteligence Unit (FIU) negara lain yang terkait dengan dugaan tindak pidana pencucian uang. Keempat, informasi perkembangan investigasi awal dan/atau penyidikan perkara tindak pidana di bidang kelautan dan perikanan yang terindikasi bersamaan dengan tindak pidana pencucian uang dan/atau tindak pidana di bidang kelautan dan perikanan, serta informasi lainnya yang dibutuhkan PPATK sesuai ketersediaan data KKP.
Selain itu,informasi yang diberikan juga dapat berasal dari insiatif PPATK atau permintaan tertulis  dari KKP. Informasi itu antara lain dugaan tindakan pidana yang dilakukan  oleh perorangan dan/atau korporasi. Kedua, dugaan penyelahgunaan wewenang wewenang dan/atau penyimpangan terhadap peraturan perundang-undangan tindak pidana pencucian uang oleh unsur KKP. Ketiga, informasi mengenai peningkatan pengawasan dalam rangka mewujudkan aparatur negara yang berintegritas, akuntabel dan transparan di lingkungan KKP, serta informasi lainnya yang dibutuhkan.
Kemudian, PPATK dapat memberikan asistensi dan/atau pendampingan penangnana perkara tindak pidana di bidang kelautan dan perikanan yang diduga bersamaan dengan tindakan pidana pencucian uang dan/atau tindak pidana di bidang kelautan dan perikanan. Adapun pelaksanaan pengembangan sumber daya manusia akan diwujudkan melalui kegiatan pendidikan, pelatihan dan sosialisasi yang dilakukan secara bersama-sama dan disepakati lebih lanjut oleh kedua pihak. “Kesepakatan ini akan berlaku tiga tahun dan kami sepakat membentuk satuan tugas untuk menunjang pelaksanaan kerjasama ini”, tutup Susi.

Jakarta, 5 Januari 2015
Kepala Pusat Data Statistik dan Informasi
Lilly Aprilya Pregiwati


Penghentian Operasionalisasi Alat Penangkap Ikan Yang Merusak Lingkungan Dan Konservasi Perairan Laut



Sibolga,        Januari 2015

Nomor       :  002 /KNTM/SBG-TT/PBSU/I/2015.                                    Kepada Yth :
Sifat           :  Penting                                                                                  Bapak Walikota Sibolga
Lampiran   :  1 (satu) set                                                         
Perihal       :  Penghentian Operasionalisasi Alat                                        
                    Penangkap Ikan Yang Merusak Lingkungan                  di-                   
                    Dan Konservasi Perairan Laut                                               T e m p a t.

                                                                                             
Dengan Hormat,
Bahwa penggunaan alat penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan ikan pada jalur penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.02/MEN/2011 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia, sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 42/PERMENKP/2014, belum sepenuhnya mampu memenuhi perkembangan kebutuhan di lapangan dalam pemanfaatan sumberdaya ikan secara optimal dan berkelanjutan.
Bahwa penggunaan alat penangkapan ikan Pukat Hela (trawls) dan Pukat Tarik (seine nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia telah mengakibatkan menurunnya sumber daya ikan dan mengancam kelestarian lingkungan sumber daya ikan, sehingga perlu dilakukan pelarangan penggunaan alat penangkapan ikan Pukat Hela (trawls) dan Pukat Tarik (seine nets).
Berkaitan dengan hal tersebut diatas, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) kembali mengeluarkan kebijakan strategis dengan menerbitkan dua Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (PERMENKP). Kebijakan itu untuk mendukung upaya strategis pemerintah dalam mengelola sumber daya kelautan dan perikanan secara lestari dan berkelanjutan. Keduanya telah ditetapkan pada tanggal 8 Januari 2015 dan mulai diberlakukan pada tanggal 9 Januari 2015. Hal itu sebagai bentuk keseriusan KKP dalam mewujudkan komitmennya untuk menata kembali pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan di Indonesia secara bertanggung jawab.
Kebijakan itu yakni pembatasan penangkapan tiga spesies perikanan penting yakni Lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Scyla spp.), dan Rajungan (Portunus pelagicus spp.) melalui peraturan nomor :1/PERMEN-KP/2015.
Sedangkan dalam Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 2/Permen-Kp/2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) Dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia, ditetapkan ada 8 pasal yang secara tegas melarang penggunaan alat penangkapan ikan jenis Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets). Trawls atau yang dikenal dengan pukat harimau sudah lama dilarang penggunaannya karena termasuk alat penangkapan ikan yang merusak (destructive fishing). Sebagaimana dicantumkan dalam pasal 3, alat tangkap ini terdiri dari pukat hela dasar (bottom trawls), pukat hela pertengahan (midwater trawls), pukat hela kembar berpapan (otter twin trawls) dan pukat dorong. Sementara alat penangkapan ikan pukat tarik (seine nets) terdiri dari pukat tarik pantai (beach seines) dan pukat tarik berkapal (boat or vessel seines). Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) dengan alat penangkapan ikan trawls dan seine nets yang telah diterbitkan sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini, masih tetap berlaku sampai dengan habis masa berlakunya.

Untuk itu, kami mohon kepada Bapak untuk dapat melaksanakan penjagaan, pengawasan, pencegahan, dan penindakan pelanggaran hukum di wilayah perairan Indonesia Khususnya Sibolga Tapteng, antara lain “menghentikan, memeriksa, membawa, menahan, dan menangkap kapal dan/atau orang yang diduga atau patut diduga melakukan tindak pidana perikanan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia sampai dengan diserahkannya kapal dan/atau orang tersebut di pelabuhan tempat perkara tersebut dapat diproses lebih lanjut oleh penyidik”.  

Kami yakin seluruh stakeholders yakni Pemerintah Pusat/Pemerintah Kab/Kota, TNI AL, Kepolisian, masyarakat termasuk nelayan memiliki komitmen yang serius untuk menata kembali pengelolaan perikanan dengan tujuan agar kelestarian sumberdaya ikan bisa terwujud dan keberlanjutan usaha perikanan bisa semakin terjamin. Komitmen ini pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan nelayan.

Demikian kami sampaikan atas perhatian dan kerjasamanya diucapkan terima kasih,
                   
Hormat Kami :
Pengurus
Kelompok Nelayan Tolong Menolong ( K N T M )
Kota Sibolga
Pantai Barat Sumatera Utara,







WAKIL SEKRETARIS,



ZULPAN EFENDI PASARIBU
 

KETUA,



IKMALUDDIN LUBIS
 
 







                       







 

KEBIJAKAN TATA KELOLA PERIKANAN BERKELANJUTAN MULAI DIBERLAKUKAN

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) kembali mengeluarkan kebijakan strategis dengan menerbitkan dua Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (PERMENKP). Kebijakan itu untuk mendukung upaya strategis pemerintah dalam mengelola sumber daya kelautan dan perikanan secara lestari dan berkelanjutan. Keduanya telah ditetapkan pada tanggal 8 Januari 2015 dan mulai diberlakukan pada tanggal 9 Januari 2015. Hal itu sebagai bentuk keseriusan KKP dalam mewujudkan komitmennya untuk menata kembali pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan di Indonesia secara bertanggung jawab. Demikian disampaikan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti di Jakarta, Senin (19/1). Susi menuturkan, kebijakan itu yakni pembatasan penangkapan tiga spesies perikanan penting yakni Lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Scyla spp.), dan Rajungan (Portunus pelagicus spp.) melalui peraturan nomor : 1/PERMEN-KP/2015. Sedangkan peraturan kedua yakni nomor 2/PERMEN-KP/2015 mengatur larangan penggunaan alat penangkapan ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPP NRI). “Setiap orang, baik perorangan maupun korporasi diharapkan dapat mematuhi kedua peraturan ini, dan akan ada tindakan tegas dari pemerintah jika terbukti melakukan pelanggaran. Nantinya, kebijakan ini akan diatur dalam petunjuk pelaksanaan lebih lanjut “, ungkap Susi. Dalam peraturan nomor 1, terdapat lima pasal yang mengatur tentang pembatasan penangkapan Lobster, Kepiting dan Rajungan untuk dikonsumsi dan diperjualbelikan. Dimana, setiap orang dilarang melakukan penangkapan tiga spesies perikanan penting tersebut dalam kondisi bertelur. Penangkapannya diperbolehkan, asalkan tidak dalam kondisi sedang bertelur dan sesuai dengan ukuran minimum yang sudah ditetapkan dalam peraturan. Adapun ukuran yang diperbolehkan yakni Lobster dapat ditangkap dengan ukuran panjang karapas di atas 8 cm, Kepiting di atas 15 cm dan Rajungan dengan ukuran lebar karapas di atas 10 cm. “Pembatasan penangkapan ini dilakukan karena keberadaan dan ketersediaan ketiga spesies itu telah mengalami penurunan yang drastis. Hal ini juga dimaksudkan untuk restocking ekosistem ketiga spesies tersebut “, ujar Susi. Susi menambahkan, ukuran panjang ketiga spesies tersebut penting untuk diatur dalam rangka menjaga kelestarian sumberdaya. Berdasarkan hasil penelitian, spesies pada ukuran yang boleh ditangkap tersebut harus sudah dewasa dan pernah minimum sekali bertelur atau memijah. Pengaturan ini penting dilakukan dalam rangka mendorong keberlanjutan usaha penangkapan ketiga spesies itu. Bila penangkapan tidak dikendalikan dikhawatirkan akan terjadi penurunan populasi dan dalam jangka panjang akan berdampak negatif bagi mata pencaharian nelayan. “Oleh karena itu, terdapat kewajiban bagi orang yang menangkap lobster, kepiting dan rajungan bertelur dalam keadaan hidup untuk melepaskannya ke laut”, kata Susi. Sedangkan dalam peraturan nomor 2, ditetapkan ada 8 pasal yang secara tegas melarang penggunaan alat penangkapan ikan jenis Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets). Trawls atau yang dikenal dengan pukat harimau sudah lama dilarang penggunaannya karena termasuk alat penangkapan ikan yang merusak (destructive fishing). Sebagaimana dicantumkan dalam pasal 3, alat tangkap ini terdiri dari pukat hela dasar (bottom trawls), pukat hela pertengahan (midwater trawls), pukat hela kembar berpapan (otter twin trawls) dan pukat dorong. Sementara alat penangkapan ikan pukat tarik (seine nets) terdiri dari pukat tarik pantai (beach seines) dan pukat tarik berkapal (boat or vessel seines). Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) dengan alat penangkapan ikan trawls dan seine nets yang telah diterbitkan sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini, masih tetap berlaku sampai dengan habis masa berlakunya. Sementara itu, peraturan nomor 2 ini penting dilakukan mengingat makin menipisnya kondisi sumberdaya perikanan, khususnya di Laut Arafura (WPP RI 718). Berdasarkan peta potensi sumberdaya ikan, wilayah Arafura sudah mengalami gejala tangkap-lebih (overfishing) untuk beberapa spesies ikan demersal. Potensi yang masih memungkinkan dieksploitasi lebih lanjut di WPP 718 tersebut adalah ikan pelagis kecil. Selain konsumsi BBM yang tinggi, kekurangan alat tangkap pukat ini adalah selektivitas yang rendah, yang dapat ditunjukkan dengan tingginya tangkapan sampingan (by catch). Tingginya tangkapan sampingan ini tentu dapat merusak kelestarian sumberdaya. Begitu pula kondisi Laut Jawa yang juga sudah semakin mengalami overfishing, khususnya udang dan pelagis kecil. Selain masalah ekologis, penggunaan pukat tarik juga sering menimbulkan konflik sosial antar nelayan. Pasca otonomi daerah, semakin banyak nelayan yang memodifikasi alat tangkapnya menjadi alat tangkap yang mirip dengan prinsip kerja trawl. Sejak saat itu, eksploitasi terhadap sumberdaya ikan terjadi secara besar-besaran dan konflik antar nelayan juga terus terjadi, baik di laut Jawa maupun wilayah perairan lainnya. Apa yang terjadi sebelum dikeluarkannya Kepres Nomor 39 Tahun 1980 akhirnya terjadi lagi pasca reformasi. Dengan dilarangnya penggunaan pukat tarik, selanjutnya untuk menangkap ikan-ikan demersal, nelayan didorong untuk menggunakan beberapa jenis Alat Penangkap Ikan (API) yang dikelompokan menjadi tiga jenis. Pertama, kelompok API perangkap seperti bubu, setnet dan jermal. Kedua, kelompok API jaring lingkar seperti trammel net dan liong bun. Kemudian ketiga, kelompok API pancing seperti pancing rawai dasar dan pancing ulur. KKP memiliki komitmen yang serius untuk menata kembali pengelolaan perikanan dengan tujuan agar kelestarian sumberdaya ikan bisa terwujud dan keberlanjutan usaha perikanan bisa semakin terjamin. Komitmen ini pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan nelayan. Ke depan semua WPP-RI akan dikelola secara lebih serius dengan mempertimbangkan beberapa hal. Pertama, pembatasan fishing capacity melalui pengaturan jumlah armada atau hari penangkapan. Kedua, pengaturan “time & spatial closure” untuk memberikan kesempatan bagi spesies target pulih, serta ketiga adalah pengaturan selektivitas alat tangkap. Jakarta, 19 Januari 2015 Kepala Pusat Data Statistik dan Informasi Lilly Aprilya Pregiwati Narasumber : Sjarief Widjaja, Sekretaris Jenderal KKP; Gellwyn Jusuf, Direktur Jenderal Perikanan Tangkap; Asep Burhanudin, Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Keluatan dan Perikanan; Ahmad Poernomo, Kepala Badan Penelitan dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan; Lilly Aprilya Pregiwati, Kepala Pusat Data Statistik dan Informasi.