Kekuasaan jelas menggoda. Dalam konteks politik, Niccolo
Machiavelli memandang kekuasaan cenderung dilanggengkan oleh setiap penguasa
lewat berbagai cara. Cara apapun tidak menjadi persoalan, yang penting
kekuasaan itu dapat dipertahankan. Dari pandangan Machiavelli ini tersirat
diterimanya cara-cara kekerasan dan represi (coercion, violence) yang
tidak etis dalam mempertahankan kekuasaan. John Locke di Inggris, Montesqiueu
di Prancis, dan Thomas Jefferson di Amerika Serikat juga beranggapan bahwa
penguasa cenderung memiliki ambisi untuk berkuasa terus-menerus. Karenanya,
kepentingan penguasa sering bertolak belakang dengan kepentingan rakyat banyak.
Dalam banyak sistem sosial dan politik kekuasaan memang
dicoba-batasi agar tidak menjadi absolut atau totaliter, termasuk dalam
pandangan Machiavelli yang menghendaki Italia menjadi negara republik. Ada
banyak cara diusulkan untuk membatasi kekuasaan. Para filosof, ahli hikmah dan
etika mengajarkan agar kekuasaan dipegang oleh figur filosof dan tokoh bermoral
(ulama, cendekiawan). Kekuasaan berada di bawah hukum, bukan lagi “Aku [baca:
raja] adalah hukum”. Dari sisi struktur dan sistem, pemikir-pemikir politik
lalu menganjurkan agar kekuasaan dibagi (separation of power) antara
lembaga-lembaga negara; otoritas dibelah (distribution of power),
seperti pada ajaran trias politica.
Dalam sistem politik totaliter, kekuasaan menjadi absolut,
terpusat pada segelintir elite (oligarkhi) yang berlaku zalim, dan tidak
mengenal partisipasi publik dalam kehidupan politik, baik yang konvensional
(seperti: memberikan suara dalam pemilu, diskusi politik, membentuk dan
bergabung dalam suatu kelompok kepentingan) maupun yang non-konvensional
(seperti unjuk rasa). Padahal partisipasi ini mengingatkan pada pentingnya
jaminan akan pelaksanaan kebebasan-kebebasan asasi (civil rights),
seperti kebebasan menyatakan pendapat, berkumpul dan penghormatan terhadap hak
asasi warga negara. Civil rights adalah salah satu dari dua kaki
demokrasi, sedang kaki yang satunya lagi adalah parlementarisme, yang terkait
dengan keharusan adanya parlemen, partai politik, dan pemilihan umum.
Demokrasi, menurut Bertrand Russel, mengandung kelemahan,
terutama menyangkut dua hal: keputusan yang harus cepat diambil dan menyangkut
kemampuan atau pengetahuan seorang pengambil kebijakan. Pada tingkat ini
biasanya terjadi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power), dimana
kewenangan yang dimiliki pejabat publik bukan digunakan untuk kemaslahatan
publik, tetapi untuk kepentingan pribadi sang pejabat. Mengingat besarnya
kekuatan godaan dan tarikan kekuasaan terhadap para penguasa, Lord Acton
membuat suatu tesis aksiomatik yang sangat terkenal: “Power tends to
corrupt. Absolute power corrupts absolutely.”
Sayangnya,
menurut saya, sebagai sistem, demokrasi kekurangan alat (tool) untuk
mengontrol penyalahgunaan kekuasaan, selain dengan jaminan partisipasi publik dalam
perumusan dan pelaksanaan kebijakan, yang antara lain dicerminkan dengan
pengawasan masyarakat dan parlemen atas kinerja pemerintah, serta penggunaan
hukum sebagai sistem pemberi sanksi atas ilegalitas kekuasaan. Karena itu,
moralitas dan akhlak agama mempunyai peran signifikan, sebagaimana dilihat para
filosof da ahli hikmah di atas.