“Kebaikan
adalah bentuk khusus dari kebenaran dan keindahan.
Ia adalah
kebenaran dan keindahan dalam bentuk perilaku manusia”
(H.A.
Overstreet)
"Tanggung
jawab pemimpin, bukan hanya membuat organisasinya tumbuh, berkembang dan
berkinerja cemerlang, tetapi juga mempersiapkan pemimpin masa depan, agar
perpindahan tongkat estafet kepemimpinan dapat berlangsung mulus"
(Betti
Alisjahbana)
Untuk memulai tulisan sederhana ini,
ijinkanlah saya mengawalinya dengan sebuah kisah inspiratif. Cerita ini saya
peroleh dari tulisan Hamdan Juhannis (Guru besar Sosiologi UIN Allauddin
Aktivis Indonesian Public Integrity Education Network) dengan judul Professor
dan Toplesnya. Begini ceritanya :
---
Saat mengajar sebuah topik pada mata
Kuliah Filsafat, seorang professor tiba-tiba mengambil toples kosong. Tanpa
penjelasan awal, professor itu mengisi toples itu dengan bola-bola golf.
Ia bertanya pada mahasiswanya, “apakah kalian melihatnya sudah
penuh?”, yang dijawab mahasiswa secara serempak: “betul!” dengan penuh
keheranan. Setelah itu, professor itu menuangkan batu koral ke dalam
toples sambil mengguncang-guncang toples itu. Lalu batu koral itu mengisi
tempat yang kosong di antara bola-bola golf.
Kemudian dia mengkonfirmasi lagi
kepada mahasiswanya: “Apakah sudah penuh?” yang kembali diangguki oleh
mahasiswanya. Selanjutnya dia menabur pasir ke dalam toples yang tentu saja
dengan mudah pasir menutupi semuanya. Professor itu sekali lagi menanyakan
apakah toples sudah penuh. Mahasiswanya kembali menjawab betul. Kemudian secara
mengejutkan professor itu menuangkan secangkir kopi ke dalam toples, dan dengan
efektif mengisi ruangan kosong di antara pasir. Lakon professor kali ini
disambut tawa kegelian oleh para mahasiswa.
Lalu professsor itu mengatakan:
“Kalian boleh menertawai tingkah saya, tetapi pahamilah bahwa toples ini
mewakili kehidupan kalian.” Professor itu menjelaskan: “Bola-bola golf adalah
hal yang amat penting dalam hidup: Tuhan, keluarga, anak-anak, kesehatan dan
pendidikan.” Dia menambahkan: “Jika yang lain hilang dan hanya tinggal mereka,
maka hidup kalian masih tetap penuh, karena bola-bola golf saja sudah memenuhi
toples.” Menurutnya: “Batu-batu koral adalah hal-hal lain yang penting seperti
pekerjaan, rumah dan kendaraan. Seperti kalian lihat dalam toples betapa batu
koral menjadi hal kedua mengisi sisi-sisi kosong untuk memenuhi toples dan
penampakannya sangat jelas.”
Professor itu lebih jauh mengulas:
“Pasir adalah hal-hal yang sepele dalam hidup kalian. Jika kalian pertama kali
memasukkan pasir ke dalam toples, maka pasti tidak akan tersisa ruangan untuk
bola-bola golf ataupun batu-batu koral. Hal yang sama akan terjadi dalam
hidupmu. Jika kalian menghabiskan energi untuk hal-hal yang sepele, kalian
tidak akan mempunyai ruang untuk hal-hal yang penting buat kalian. Jadi berilah
perhatian untuk hal-hal yang mendasar bagi kebahagiaanmu. Beribadalah dengan
baik. Urus keluargamu dengan serius, termasuk bermainlah dengan anak-anakmu,
bekerja dengan keras untuk kesejahteraanmu, dan jangan lupa untuk check-up
kesehatan.”Professor itu lalu mengunci: “Singkatnya, berikan perhatian terlebih
dahulu pada bola-bola golf, lalu batu koral, dan terakhir baru urus pasirnya.”
Salah satu mahasiswa mengangkat
tangan dan bertanya: “lalu kopi mewakili apa prof? Professor itu tersenyum dan
menjawab: “Saya senang kamu bertanya. Bukankah dari awal saya mengatakan bahwa
toples ini mewakili kehidupanmu. Kopi itu untuk menunjukkan kepada kalian bahwa
sekalipun hidupmu tampak sudah sangat penuh, tetapi jangan lupa untuk tetap
menyediakan waktu minum kopi dengan sahabat-sahabat kalian,” yang disambut tawa
lepas seluruh isi kelas.
---
Hikmah Toples
Ilustrasi di atas menawarkan sebuah hikmah
yang sangat bermanfaat bila dikaitkan dengan kawan-kawan sebagai “pemimpin”
masa depan. Seorang “pemimpin” laksana sebuah toples milik sang professor,
sementara bola golf, kerikil, pasir dan secangkir kopi sebagai ilustrasi urutan
kebutuhan atau skala prioritas yang harus dipenuhi dan dipersiapkan oleh
seorang pemimpin dalam menjalankan roda organisasi.
Prioritas pertama, adalah pendidikan (formal dan non formal) dan kesehatan
(fisik dan non fisik). Pendidikan di sini mengisyaratkan sebuah makna yang
lebih luas, baik dalam tataran pendidikan formal yang kita tempuh melalui S3K
(SD, SMP, SMA dan Kuliah), sampai kepada pendidikan non formal yang dimulai
dari cara orang tua dan keluarga memperlakukan kita di tengah-tengah kehidupan
keluarga, cara kita berinteraksi dan mengambil pelajaran dari kawan-kawan masa
kecil, teman-teman semasa remaja, dan karib kerabat setelah dewasa dan tak
terkecuali orang-orang tua yang patut kita contohi dan perlu kita teladani.
Begitupun dalam menjalankan sebuah
roda organisasi. Seorang yang diberi kepercayaan untuk memimpin haruslah
mengutamakan kebutuhan primer ini yang dapat ditempuh melalui proses kaderisasi
yang benar-benar terarah, dengan cara menanamkan nilai-nilai kepemimpinan yang
sudah menjadi tradisi serta nilai-nilai baru yang mampu memberikan kesegaran
dalam menjalankan roda organisasi.
Prioritas kedua, berupa penyediaan sandang, pangan dan papan bagi
organisasi. Setelah itu mengurus hal-hal yang bersifat sepele.
Jika dikaitkan dengan ilustrasi
toples sang profesor di atas, kenyataannya justru hal-hal sepele yang memenuhi
ruang toples organisasi, sehingga kebutuhan bola-bola golf dan batu koral
kehidupan yang menjadi esensi hidup ini cenderung tidak punya tempat.
Sebagai contoh, masih segar dalam
ingatan kita ketika berbagai media menyuapi “mulut kesadaran” kita dengan
perdebatan tiada ujung tentang nasib pengurus sepakbola nasional kita. Tentu
tidak bermaksud untuk menyepelekan sepakbola kita, tetapi yang dimaksudkan di
sini adalah perdebatan panjang tiada henti dalam hal kepengurusan organisasi
sepakbola nasional yang bernama PSSI. Polemik ini terus berkepanjangan seolah
tak pernah berujung dan menghabiskan begitu banyak energi, bukan hanya bagi
media, tapi juga energi rakyat dan bangsa, sehingga memenuhi toples kehidupan
ini melalui pemberitaan yang dibesar-besarkan dan telah menggiring opini
publik.
Issu bola ini lebih jauh semakin
menutupi issu mendasar yang seharusnya ditempatkan sebagai prioritas kehidupan
ini, yang sejatinya terlebih dahulu memenuhi toples kehidupan ini. Issu tentang
kebohongan publik dari kalangan pemerintah yang banyak menggerogoti sendi-sendi
kehidupan ini seakan sudah mulai terlupakan dari hal-hal yang sepele di atas.
Tentu kejujuran publik seharusnya yang pertama mengisi ruang kosong dalam
toples negeri ini. Karena tanpa sepak bola sekalipun yang menjadi olahraga
terfavorit di atmosfir ini, hidup dengan integritas akan membuat toples
kehidupan tetap terasa penuh.
Kekhawatiran professor di atas bahwa
toples selalu terisi dengan persoalan-persoalan yang sepele, betul akan segera
bermunculan memenuhi toples menutupi hal-hal yang lebih penting yang seharusnya
mengisi toples kehidupan tersebut. Yang sedikit menggembirakan dari
kekhawatiran professor di atas adalah analogi siraman kopinya pada toples
itu.
Kenyataannya, begitu menjamurnya
warung-warung kopi di berbagai sudut kota negeri ini, yang membuktikan bahwa
hidup warga ini tetap selalu menyediakan waktu untuk minum kopi bersama
sahabat. Asal saja, janganlah warung kopi justru menjadi tempat yang sangat
empuk untuk menghabiskan waktu mengulas hal-hal yang sangat sepele dalam hidup.
Bukankah menghabiskan waktu setiap saat di warung kopi adalah juga hal yang
sepele?
Membangun Karakter Pemimpin
Mari beralih menuju persoalan
membangun karakter (character building). Berbicara membangun karakter,
saya teringat dengan apa yang pernah diucapkan Menteri Pendidikan Nasional
Muhammad Nuh pada suatu kesempatan. Saat itu, ia mengatakan bahwa membangun
karakter bukan hanya tugas dunia pendidikan, melainkan kewajiban dari bangsa
secara keseluruhan. Hanya saja, karakter pribadi seseorang sebagian besar
memang dibentuk oleh pendidikannya. Karena itu, untuk membentuk pribadi yang
terpuji, tanpa cela dan bertanggung jawab, mutlak dibutuhkan pendidikan yang
berkualitas, yakni pendidikan karakter.
Tak kurang, para peneliti, dan tokoh
kelas dunia pun dengan jelas ikut menyuarakan pentingnya masalah pembentukan
karakter ini. Theodore Roosevelt, mantan presiden USA, mengatakan :
“To educate a person in mind and
not in morals is to educate a menace to society”
(Mendidik seseorang dalam aspek
kecerdasan otak dan bukan aspek moral adalah ancaman mara-bahaya bagi
masyarakat)
Mahatma Gandhi memperingatkan
tentang salah satu dari tujuh dosa fatal manusia adalah “education without
character” (pendidikan tanpa karakter). Sementara menurut Thomas Lickona
(1992), tanda-tanda kehancuran suatu bangsa antara lain:
1. Meningkatnya kekerasan di
kalangan remaja;
2. Ketidakjujuran yang membudaya;
3. Semakin rendahnya rasa tidak
hormat kepada kedua orang tua, guru dan figure pemimpin;
4. Meningkatnya kecurigaan dan
kebencian;
5. Penggunaan bahasa yang memburuk;
6. Penurunan etos kerja;
7. Menurunnya rasa tanggung jawab
individu dan warga negara;
8. Meningginya perilaku merusak
diri; dan
9. Semakin kaburnya pedoman moral.
Salah satu cara yang dapat dilakukan
untuk membangun karakter adalah perhatikan ilustrasi dari salah satu kata bijak
terkenal berikut :
“Bila Anda kesulitan menemukan
bentuk gajah dalam sebuah bongkah besar marmer, temukanlah bentuk-bentuk yang
bukan gajah dan kemudian sebuah bentuk gajah akan mulai terlihat dengan lebih
jelas”.
Artinya, bila kita menemukan banyak
kesulitan dalam membangun kualitas-kualitas bintang pada diri kita, tundalah
sebentar upaya itu. Sebagai gantinya, temukanlah keburukan-keburukan yang telah
menjadi tuan rumah dalam perilaku kita, dan segera hilangkanlah. Bila kita
berhasil meminimalkan kekurangan-kekurangan, hakikatnya kita telah berhasil
memaksimalkan kebaikan-kebaikan kita.
Karakter dalam Islam
Dalam Islam, karakter dapat dimaknai
sebagai akhlak. Beberapa hadits dan hikmah berikut menunjukkan betapa
pentingnya penerapan akhlak dalam kehidupan manusia.
“innama bu’itstu liutammima
makaarimal akhlaaq”
Sesungguhnya aku diutus hanyalah
untuk menyempurnakan akhlak manusia (HR Malik).
“Setiap anak dilahirkan dalam
keadaan fitrah, kedua orangtuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau
Majusi”
“Orang mukmin yang paling
sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya di antara mereka” (HR.
Tirmidzi dari Abu Hurairah)
Dan sekarang resapilah hadits
berikut:
“Ilmu diperoleh dengan belajar, dan
sifat santun diperoleh dengan latihan menjadi santun” (HR. Bukhari).
Jika ternyata baiknya akhlak
menjadikan sempurnanya iman, maka tidak ada alasan bagi kita untuk
menomorduakan keseriusan dalam upaya pembentukan akhlak/karakter dibanding
keseriusan mengejar keunggulan teknologi. Yakinlah, bahwa jika kita memiliki
akhlak/karakter yang baik, maka akan lebih mudah bagi kita untuk mengejar
berbagai prestasi.
Seseorang dapat dikatakan berakhlak
jika dalam dirinya terkristal sifat dan sikap adil terhadap segala hal dan
kepada siapa pun, berani menyuarakan kejujuran dan kebenaran, mampu menjaga
nilai kehormatan diri, dan sabar dalam segala hal dan situasi. Adil kepada
apapun dan siapapun dengan cara meletakkan segala sesuatu sesuai dengan kondisi
dan tempatnya (Allah SWT lebih suka kepada orang-orang yang adil : Al’quran).
Berani menyuarakan kebenaran dan keadilan karena untuk menjadi orang jujur
mutlak butuh keberanian (sampaikanlah kebenaran walau satu ayat :
Al-Hadits).
Menjaga kehormatan diri ditempuh
dengan cara melakukan hal-hal yang baik dengan cara yang benar (Aku (Muhammad)
tidak diutus oleh Allah SWT melainkan untuk menyempurnakan akhlak : Hadits).
Sabar dalam segala hal, yang meliputi 4 (empat) perkara, yakni sabar dalam
kesenangan hidup, sabar dalam ketaatan kepada Allah, sabar untuk tidak berbuat
maksiat, dan sabar dalam kesulitan/kesusahan hidup/musibah.
Sebagai seorang muslim sejati,
kawan-kawan dituntut untuk memiliki 15 (lima belas) karakter muslim yang hebat
:
1. Ulet dan tangguh (high
adversity question)
Diukur dari tingkat kegigihan dalam
melakukan sesuatu, kekuatan mental dan emosi, dan kecerdasan daya juang (adversity
question).
2. Berwawasan ke depan (sense of
future)
Menyadari apa yang sedang
berlangsung di sekitar kita dengan cara membaca apa yang tersirat, melihat
dengan sudut pandang orang lain, tahu kapan harus bertindak atau tidak
bertindak, terbuka terhadap informasi, ide-ide serta saran-saran dari orang
lain.
3. Cakap (capable)
Punya kemampuan dan keahlian
spesifik yang dimiliki, yang diukut dari : tidak hanya “mampu mengerjakan”,
lebih kepada touble shooting (menyelesaikan masalah), kecakapan pribadi menjadi
kecapakan dalam kerja, mau melakukan perenungan diri (mawas diri).
4. Penuh perhatian (attentive)
Peduli dengan apa yang dirasakan
orang lain dengan turut membantu meringankannya sesuai dengan kemampuan diri.
5. Memiliki integritas diri (personal
integrity)
Jujur dalam tindakan dan ucapan,
berkepribadian baik, tidak mudah terprovokasi dan mudah teragitasi.
6. Mau introspeksi diri (introspector)
Kemampuan untuk memprakarsai
perubahan melalui evaluasi dan koreksi diri secara berkesinambungan.
7. Percaya diri (self confidence)
Percaya pada kemampuan dan keandalan
diri.
8. Toleran (tolerant)
Terbuka terhadap pandangan dan
praktek yang berbeda dengan pandangan dan praktek yang kita lakukan sendiri.
9. Berempati (emphatetic)
Dengan mengatakan pada orang lain
“saya memahami bagaimana Anda merasakan..” dan “saya bias menempatkan diri pada
posisi Anda, tanpa saya mengambil tanggung jawab untuk itu ..”.
10. Bersikap dan bersifat positif (optimistic
and positive thinking)
Memelihara optimisme diri tentang
orang lain atau situasi tertentu.
11. Memiliki rasa hormat terhadap
sesama (respectful)
Memperlakukan tiap-tiap orang secara
adil menurut kadar kebutuhan dan kepercayaan mereka.
12. Bertanggung jawab (responsible)
Tidak lari dari tanggung jawab (don’t
cop out) dan loyal pada yang dipimpin (be loyal downwards).
13. Setia kepada pemimpin (upward
loyalty)
Tidak melangkahi pemimpin (don’t
pass the buck) dan memelihara hubungan baik (maintain relationship).
14. Berani hadapi masalah (problem
facer)
Jangan lari dari masalah karena lari
dari masalah akan menambah atau melahirkan masalah baru yang bahkan bisa lebih
sulit Anda hadapi. Hadapilah masalah dengan jantan.
15. Mau mendengarkan (good
listener)
Mendengarkan gagasan-gagasan,
pandangan-pandangan, ide-ide orang lain, baik yang Anda kenal maupun yang tidak
Anda kenal.
Penutup
Sebagai penutup, berikut saya kutip
sebuah puisi karya Romora Edward Sitorus, yang menggambarkan secara tersirat
maupun tersurat tentang karakter seorang pemimpin.
PUISI UNTUK PEMIMPIN
Dunia Para Pemimpin
Sekarang atau 100 tahun
Duniamu adalah dunia kekaguman
Tempat para manusia setengah elang
Yang terbang di bawah awan
Yang memantau seribu satu mahluk padang
Kenapa engkau harus selalu
melayang
Tak lelahkah engkau pemimpin
Buanglah segala bebanmu
pemimpin
Kami pun bisa segera turun
tangan
Tapi kau adalah simbol segala perjuangan
Engkau di atas bukan hanya sebagai tanda perang
Tapi engkau adalah uap pemacu yang memberi ketenangan
Engkaulah lokomotif raksasa pencakar semesta
Cobalah mengenalku pemimpin
Seringkali matamu melihat
begitu jauh
Karena bebanmu yang berat dan
erat
Tapi bukan itu inginku, aku
ingin kau dekat
Engkau pemimpinku
Hasrat juang semua tertumpu padamu
Mulai lepaskan satu per satu
Biarkan kami turut menanggung
Jadilah jalur pacu kami
Seabad bertemu
Aku ingin kau tahu
Bahwa kau memang luar biasa
Pembawa arah, peninjau medan
Pemimpin kami
Kami bangga
Ada engkau di tengah-tengah
Layakkan kami jadi busur dan anak panah
Agar kami tahu bagaimana
hidupmu
Biarkan kami membawa warna
kami
Dalam mata angin surga yang
kau tunjukkan
Dalam hari-hari ke depan, di
dunia para pemimpin
(Dari berbagai sumber)
Zainudin, M.Si.
Badan Diklat Kementerian Dalam
Negeri
Disampaikan pada acara pelantikan
ketua dan pengurus Forum Komunikasi Mahasiswa Bima Bekasi (FKMBB) di Bekasi
pada tanggal 13 Maret 2011.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar