Kamis, 26 Maret 2015

12 Prinsip Pemberdayaan

Dalam bukunya “Keadilan, Pemberdayaan dan Penanggulangan Kemiskinan (Owin Jamasy, 2004) dikatakan bahwa para pelaku program pemberdayaan, harus profesional dan komitmen untuk mewujudkan seluruh prinsip pemberdayaan ke dalam setiap kegiatan aksi program. Dikatakannya ada dua belas prinsip yang harus dijadikan kekuatan internal pelaku pemberdaya. 

Pertama, para pelaku utama pemberdaya dan seluruh unsur stakeholders, harus berlaku adil (melaksanakan prinsip kerja  berdasarkan keadilan  dan komitmen untuk meningkatkan kualitas kerja yang adil). Dari sekian banyak arti dan bentuk perilaku adil, setidaknya dua hal diantaranya akan menjadi sangat penting yakni: Keadilan distribusi dan keadilan prosedural.  Adil distribusi adalah berlaku adil  ketika mendistribusikan sesuatu sekalipun yang miskin harus diutamakan. Setiap individu (siapapun orangnya) membutuhkan keadilan, tetapi tidak keluar dari koridor keadilan apabila ternyata berlaku lebih kepada individu atau kelompok miskin; apakah miskin dari aspek intelektual (pengetahuan dan ketrampilan), ekonomi (fisik dan material atau sandang, pangan dan papan), miskin dari aspek politik dan lain-lain. Mereka yang miskin ini sangat membutuhkan perhatian dan intervensi lebih, dan tentu tidaklah sama bagi mereka yang tidak miskin. 
Adalah berlaku adil apabila pendistribusian informasi dan pengalaman (yang terkait dengan pengetahuan dan ketrampilan) lebih mendahulukan mereka yang miskin daripada yang kaya, karena yang miskinlah yang sangat membutuhkan terutama agar terjadi keseimbangan (tidak timpang); demikian juga dalam pendistribusian bahan makanan seperti bantuan beras untuk orang  miskin dan subsidi-subsidi lain dari pemerintah yang selalu mengutamakan orang miskin. Dalam hal ini keadilan berfungsi untuk menyeimbangkan stratifikasi sosial yang acap kali terlihat semakin timpang antara batas yang kaya dengan yang miskin. 
 Keadilan prosedural adalah berlaku adil dalam memberikan pelayanan sekalipun yang harus dutamakan adalah orang miskin. Dan bukan sebaliknya dimana memberikan pelayanan yang cepat kepada mereka yang kaya atau yang tidak miskin. Siapakah yang lebih membutuhkan? Sekalipun dalam pengurusan atau pembuatan Kartu Tanda Pengenal (KTP), adalah berlaku adil apabila si petugas telah memperhatikan yang lebih (pelayanan serius) kepada mereka yang miskin.    

Kedua, seluruh unsur stakeholders harus jujur (jujur kepada diri sendiri dan jujur kepada orang lain). Kejujuran adalah sifat dasariah manusia, namun seringkali berubah (menjadi tidak jujur) karena terkalahkan oleh kepentingan emosi pribadinya. Kejujuran sangat besar pengaruhnya terhadap keadilan. Keduanya merupakan sifat dasariah manusia.

Ketiga, kemampuan melakukan problem solving, menumbuhkan dan memasarkan inovasi, asistensi, fasilitasi, promosi, dan  social marketing. Memecahkan masalah (problem solving) adalah proses bagaimana semua pihak menerima jalan keluar yang ditawarkan. Pemecahan masalah, bisa jadi dari sipemilik masalah itu sendiri. Dalam hal ini terdapat seni bagaimana proses dialog yang baik berlangsung ketika proses mencari jawaban dari sebuah masalah.
Tenaga pemberdaya harus trampil dan kreatif mencari inovasi (ide dan pemikiran baru atau terobosan baru); juga trampil melakukan asistensi dan fasilitasi (bimbingan dan dampingan); demikian juga dalam hal promosi dan sosial marketing. 

Keempat, kerjasama dan koordinasi seluruh unsur  stakeholders  berdasarkan kemitraan.  Kendatipun ada struktur pengelolaan program dengan berbagai atribut jabatannya, namun dalam proses perjalanannya harus berlangsung secara kemitraan.
Mengejar misi dan mencapai tujuan program adalah tugas bersama. Apabila ada persoalan, semestinya menjadi tanggungjawab bersama untuk mengatasinya, dan tidak dibenarkan apabila pihak pimpinan atau pihak tertentu mengatakan “itu adalah tugasmu dan kamulah yang harus bertanggungjawab”. 

Kelima, partisipasi aktif dari seluruh unsur stakeholders. Partisipasi tidak hanya diukur oleh jumlah melainkan harus juga diukur oleh seberapa banyak elemen masyarakat yang terlibat, misalnya dari latar belakang jenis kelamin (laki-laki dan perempuan), latar belakang usia (tua dan muda), latar belakang sosial-ekonomi (kaya – menengah dan msikin) dan lain sebagainya. Bias partisipasi seringkali dijumpai, misalnya pertemuan yang dihadiri oleh 40 orang dan yang dihadiri oleh 20 orang. Dari aspek jumlah, 40 orang lebih baik dari yang 20 orang, tetapi dari aspek kualitas mungkin saja yang 20 orang akan menjadi lebih baik dan partisipatif karena mereka adalah wakil dari seluruh elemen masyarakat, sementara yang 40 orang hanyalah dari kelompok karang taruna.   

 Keenam, lingkup dan cakupan  program berlangsung secara terpadu. Keterpaduan ini diawali dengan ketajaman analisis dalam melihat persoalan. Keterpaduan dari sudut pandang “tujuan” mengandung arti bahwa tujuan pemberdayaan harus meliputi aspek intelektual, aspek sosial-ekonomi, aspek fisik, dan aspek manajerial. Tujuan juga harus mampu meningkatkan aspek pengetahuan, kemampuan, dan ketrampilan. Selanjutnya dari sisi pelakunya, keterpaduan harus diartikan kepada kerjasama unsur stakeholders yang harmonis dan kondusif. 

Ketujuh, mengutamakan penggalian dan pengembangan potensi lokal. Pengembangan potensi lokal untuk merintis kemandirian dan memperkecil terjadinya ketergantungan kepada pihak luar. Pengembangan potensi lokal yang konsisten, juga mengandung maksud agar masyarakat sadar bahwa kontribusi itu jauh lebih realistis untuk tujuan rasa memiliki.   

Kedelapan, aktif melakukan mobilisasi dan peningkatan swadaya yang bertumpu kepada kekuatan masyarakat sendiri/kelompok sasaran  (self-reliant development). 
Kenyataan banyak sekali bentuk kemampuan yang bisa diswadayakan oleh masyarakat misalnya: tenaga, ide dan pemikiran, uang, dan kepemilikan (tanah dan harta lainnya).

Kesembilan, mengembangkan metode pembinaan yang konstruktif dan
berkesinambungan. Program pembinaan dikonstruksi bersama oleh semua pihak sehingga dapat dipastikan bahwa antara satu bentuk pembinaan dengan bentuk yang lainnya akan berkorelasi positif, saling mendukung dan berkesinambungan. 

Kesepuluh, pelaksanaan kegiatan berlangsung secara gradual/bertahap. Tahapan kegiatan sebaiknya dibuat bersama masyarakat. Fasilitator dapat menggabungkan antara waktu yang tersedia bagi program dan yang tersedia pada masyarakat. Tahapan kegiatan tidak akan berpengaruh kepada waktu yang disediakan. Justru dengan tahapan itulah akhirnya seberapa sempitpun waktu yang disediakan, akhirnya dapat dikonsumsi atau dibagi dengan adil.    

Kesebelas,  seluruh unsur  stakeholders harus konsisten terhadap pola kerja pemberdayaan. Pola ini harus dibedakan dengan pola kerja pada pembangunan fisik. Pemberdayaan adalah untuk kepentingan manusia seutuhnya. Oleh karena itu pola dan cara kerja harus mampu menyentuh kepada  seluruh kepentingan masyarakat (SDM, ekonomi dan material serta manajrial) 

Keduabelas, komitmen serta peduli kepada  misi pemberdayaan dan kepadamasyarakat miskin yang kurang mampu (Sense of mission, sense of community, andmission driven profesionalism). 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar